TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perhubungan memperketat pengawasan terhadap sistem catatan muatan atau manifes kapal. Meski ditujukan untuk semua jenis pelayaran, Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Kementerian Perhubungan, Ahmad, mengatakan angkutan penyeberangan menjadi sorotan menyusul rentetan kecelakaan moda tersebut di berbagai wilayah.
“Embarkasi dan debarkasi penumpang harus diawasi untuk memastikan jumlah penumpang tidak melebihi kapasitas yang diizinkan,” ucap dia kepada Tempo, Kamis 29 Agustus 2019.
Selasa lalu, Kementerian Perhubungan menerbitkan instruksi melalui telegram ke seluruh kantor kesyahbandaran dan otoritas pelabuhan (KSOP), termasuk pejabat unit pelaksana pelabuhan, untuk memperketat penerbitan surat persetujuan berlayar (SPB). Pengawasan mencakup bongkar-muat barang berbahaya dan barang khusus, termasuk aktivitas pengelasan dan penimbunan (bunkering).
Menurut Ahmad, kontrol manifes diperlukan untuk mencegah berbagai bentuk kecelakaan moda laut, mulai dari tubrukan hingga tenggelam. Kebakaran kapal penyeberangan Santika Nusantara di Perairan Sumenep, Jawa Timur, pada 22 Agustus lalu, menjadi yang paling mengemuka. Berkapasitas 12.968 gross tonnage, kapal itu terbakar saat berlayar dari Surabaya menuju Balikpapan.
Investigator Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) yang menangani kasus tersebut, Nico Maris, memastikan kebakaran sudah berhenti. Namun mesinnya masih panas dan terombang-ambing hingga 120–146 mil dari lokasi pertama api muncul.
“Sudah sepekan, tapi belum bisa dimasuki,” kata dia. “Kami menunggu Badan Search and Rescue (SAR) yang masih menyisir area sekitarnya.”
Tim KNKT pun menyelidiki kejanggalan manifes muatan kapal tersebut. Dari data KSOP Tanjung Perak, kapal Santika Nusantara seharusnya hanya membawa 84 unit kendaraan dan 277 orang, sudah termasuk seluruh awak kapal (Koran Tempo edisi Senin, 26 Agustus 2019: “Penyelidikan Kapal Santika Butuh Waktu Sepekan”). Belakangan, Badan SAR mengevakuasi sampai 311 orang.